Pendidikan Tinggi, Hak Warga atau Komoditas Komersial?

komersialisai perguruan tinggi

Modernis.co, Jakarta – Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, alinea keempat, menyatakan salah satu cita-cita bangsa Indonesia adalah “Mencerdaskan kehidupan bangsa”. Namun, realitas terkini menunjukkan adanya kekhawatiran bahwa aksesibilitas pendidikan tinggi semakin terbatas, terutama bagi kalangan kurang mampu secara ekonomi.

Dewasa ini, isu kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di perguruan tinggi negeri kembali mencuat. Hal ini menyusul pernyataan kontroversial Plt Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Prof Tjitjik Sri Tjahjandarie Ph.D, yang telah memicu kontroversi.

“Pendidikan tinggi adalah tersier education, jadi bukan wajib belajar. Artinya tidak seluruhnya lulusan SLTA SMK itu wajib masuk perguruan tinggi, ini sifatnya adalah pilihan,” ujar Tjitjik.

Pernyataan Tjitjik tersebut sontak menuai kritik dari berbagai pihak. Banyak yang berpendapat bahwa pendidikan tinggi seharusnya dilihat sebagai hak warga negara, bukan sekadar komoditas komersial yang bisa diperjualbelikan. Lagipula, bagaimana mungkin Kemendikbud menyebut pendidikan tinggi sebagai sektor tersier, padahal hampir semua lowongan kerja saat ini mensyaratkan pendidikan minimal S1?

Konsekuensi tak disengaja dari pernyataan tersebut adalah kekhawatiran bahwa perspektif semacam itu dapat semakin mempersulit akses pendidikan tinggi bagi masyarakat kurang mampu. Hal ini seakan bertentangan dengan cita-cita “Mencerdaskan kehidupan bangsa” yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945.

Muhammad Ravi, mahasiswa Universitas Riau, menyampaikan kekhawatirannya saat melakukan audiensi bersama komisi X DPR. Dia menyoroti ketidaklogisan kenaikan UKT, di mana mahasiswa dengan penghasilan orang tua sebesar 2 juta rupiah tetap harus membayar UKT golongan VIII sebesar 8,7 juta rupiah.

Beberapa rektor menyatakan bahwa biaya operasional perguruan tinggi terus meningkat, namun subsidi dari pemerintah masih dianggap kurang memadai. Hal ini menimbulkan dilema, di mana perguruan tinggi perlu meningkatkan Uang Kuliah Tunggal (UKT) untuk mempertahankan kualitas, namun kenaikan UKT tentu akan memberatkan mahasiswa dan calon mahasiswa, terutama mereka dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah.

Meskipun alokasi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk sektor pendidikan di Indonesia adalah 20% dari total anggaran APBN, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 49 ayat (1), pertanyaannya adalah apakah alokasi 20% ini sudah sepenuhnya terwujud atau hanya sebagian. 

Dalam kenyataannya, Pemerintah diharapkan dapat mengambil langkah-langkah strategis untuk memastikan akses dan keberlanjutan pendidikan tinggi yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.

Keputusan terkait kenaikan UKT pun seringkali diambil secara tergesa-gesa, tanpa memberikan ruang yang cukup untuk pertimbangan dan musyawarah. Karakteristik yang cenderung bersifat demokratis dan bernuansa bisnis ini memunculkan kekhawatiran akan hilangnya fokus pada kepentingan rakyat dan lebih memprioritaskan kepentingan komersial.

Perdebatan ini pada akhirnya menyentuh isu yang lebih fundamental, yakni apakah pendidikan tinggi seharusnya diposisikan sebagai hak warga negara atau lebih sebagai komoditas komersial yang mengikuti logika pasar.

Jika pendidikan tinggi hanya dilihat sebagai komoditas, maka hanya mereka yang mampu secara ekonomi saja yang bisa mengenyam pendidikan berkualitas. Padahal, negara punya tanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pendidikan tinggi seharusnya menjadi hak warga negara, bukan sekadar komoditas komersial. Pernyataan Kemendikbud terkait ‘tersier education’ harus ditelaah secara mendalam, untuk memastikan bahwa kebijakan dan praktik pendidikan tinggi tetap sejalan dengan cita-cita bangsa mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Diperlukan upaya yang lebih komprehensif untuk memperluas akses pendidikan tinggi dan melibatkan partisipasi publik yang lebih luas dalam pengambilan keputusan.

Oleh: Umi Khabibah (Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang)

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan pikiran-pikiran anda via website kami!

Leave a Comment